Menarik-Menarik di Dinding







Sesudah berkeliaran melihat karya-karya kontemporer, dari meme untuk membicarakan kehidupan seniman dunia Selatan, status Whatsapp mengenai pengkaryaan di layar-layar besar, hingga ruang tinju untuk membahas rasisme, kamu sampai di ruang yang mendadak remang, dihiasi beberapa lukisan yang disinari lampu tembak. Ada ikan disajikan di atas daun. Ada perahu di lautan. Ada hutan dan rumah kayu dan sapi pembajak sawah. Lukisan-lukisan itu digoreskan Kustiyah dengan cat minyak tebal-tebal, di atas kanvas kecoklatan. Apa perasaan yang muncul dalam benakmu?

Mungkin, kamu merasa nostalgis. Pikiranmu terpaut pada memori hidup sebelum merantau. Mereka mengingatkanmu pada makan siang dengan keluarga dan pemandangan kala pulang sekolah. Mungkin, jika negara ini kamu kunjungi sesekali–jika bukan pertama kali–mereka terlihat sangat eksotis dan tropis. Mereka membuatmu merasa sangat berbudaya. Mungkin, jika kamu sepertiku, kamu bisa jadi hanya diam. Perasaanmu setenang kamar kos yang kamu masuki di penghujung harimu. Kamu menanti gejolak untuk muncul–sepercik saja! Pada akhirnya, kamu mengangguk-anggukkan kepala sembari memonyongkan bibir. Mengamini anggapan Sianne Ngai mengenai respon paling sering muncul ketika melihat suatu karya seni, kamu mengatakannya: “menarik.”

Goresan kuasnya tebal dan arah geraknya terlihat jelas, jadi teringat Van Gogh. Menarik. Ada ikan-ikan terkapar dengan latar pantai, dilukis secara tidak proporsional. Ia diambang batas realisme dan surealisme. Menarik. Kamu masih menantikan sepucuk perasaan untuk mengapung dari dasar hatimu. Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu bisa komentari? Jika datang bersama temanmu yang paling kolektor–dalam versi kelas elit–atau anak skena–versi yang terdengar lebih prekarius–mungkin kamu akan lebih sadar dengan gerak-gerik tubuhmu. Jangan terlihat terlalu datar. Bisa-bisa kamu dibilang tidak punya selera. Tak apa. Hal teknis bisa kamu komentari, dibubuhi mantra ajaib di akhir: “menarik”.

Apa yang bisa dikomentari? Kamu rasa, sesuatu bisa kamu sadari dan komentari ketika ada yang berbeda dari apa yang dianggap lazim. Seperti jika temanmu tiba-tiba hadir dengan rambut biru atau turis bule makan di warung padang dengan tangan, lalu menghampirimu dan ngobrol dengan Bahasa Jawa. Lantas, lukisan-lukisan di depanmu terasa natural. Di mana kamu menemukan gambar-gambar semacam ini? Mungkin di restoran Makanan Sunda, atau di seberang lift hotel. Mungkin di iklan mengenai apapun yang disertai “nusantara”--pesawat domestik, produk kecantikan a la Indonesia. Mungkin ia muncul ketika membicarakan Bhinneka Tunggal Ika, atau Bendera Merah Putih dikibarkan, atau lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Mungkin ia ditemukan di rumah kayu tradisional pejabat, di galeri jika senimannya lulus dari sekolah seni dan hidup dalam lingkungan prestisius, atau jika senimannya kurang beruntung, di toko souvenir pinggir jalan. Lalu sekarang, ia hadir dalam ruang pamer. Lengkap dengan lantai kayu, pencahayaan oren. Gambar-gambar ini terasa sepatutnya ada di atas kanvas. Ia terasa lazim untuk kamu tatap, pahami, dan nikmati sebagai karya–karena inilah gagasan yang adiluhur, yang tradisional, yang esensial dalam merepresentasikan identitas negara dan masyarakat. Mereka sudah sepantasnya cukup layak untuk ditorehkan di atas kanvas.

Jika lukisan-lukisan semacam ini sering ditemukan, jika mereka menguasai alam pikirmu tentang puncak representasi negara ini dan masyarakat di dalamnya, kira-kira siapa–jika bukan apa, tunggal atau jamak–yang menciptakan kondisi demikian? Siapa yang punya kuasa untuk mengatakan ini lebih layak berada di atas kanvas ketimbang itu? Siapa yang dapat menyatakan lukisan tentang A, B, dan C, merupakan langkah pakem untuk menguasai keahlian gores, kemampuan mengontrol saturasi, dan akurasi terhadap bentuk? Untuk kamu yang sepertiku, kamu kesulitan menarik satu memori dari pengalamanmu sendiri tentang perahu di laut, gerobak di depan rumah kayu, dan bangunan adat di tengah hutan. Namun, gambar-gambar ini begitu familiar, sampai-sampai keberadaannya terasa begitu lazim, begitu seharusnya, sehingga diterima begitu saja.

Kata banyak seniman dan kritikus, pengunjung berhadapan dengan karya dengan bagasi pengetahuannya masing-masing. Jika kamu sepertiku, kamu mencari memori dalam kepalamu untuk berinteraksi dengan karya. Kira-kira gambar semacam apa yang muncul di kepala ketika mengingat pengalaman hidupmu selama ini, atau yang diturunkan kepadamu oleh orang terdekatmu? Mungkin, jika kamu sepertiku yang tumbuh besar di Pontianak, kamu mengingat ruko-ruko berhimpitan yang sudah berdiri sejak berdekade-dekade yang lalu. Mungkin, kamu mendengar soal adanya sungai dan sampan sebagai transportasi kota sebab jalan belum dibangun. Atau kamu tidak sepertiku dalam kasus ini. Mungkin, orang tuamu bekerja di pabrik dan kamu bisa membayangkan mesin-mesin dan barang-barang yang diangkut. Mungkin, jika kamu dari Ambon atau Papua, kamu mengingat pengalaman makan sagu dengan keluarga–sebelum beras datang mendominasi. Lucunya, setelah dipikir-pikir, kamu sadar bahwa semisal melihat sesuatu yang begitu dekat dengan hidupmu di atas kanvas, di ruang pamer, ia justru akan terasa ‘tak lazim’.

Seperti kamu yang menganggap ia sekadar ada tanpa benar-benar dekat dan dikenal, kamu berandai-andai. Bagaimana dengan sang pelukis? Dari temanmu, kamu mendengar bahwa Kustiyah lekat dengan gerakan turun ke bawah atau turba yang melukiskan realitas kehidupan rakyat. Namun, melihat lukisan-lukisan yang dipajang, mereka terasa jauh. Kustiyah bagai tengah meletak jarak di antara dia dan subjek yang dilukis, berada di luar dari apa yang masuk ke dalam bingkai. Perspektif yang dipilih menyerupai dokumenter National Geographic, ketika videografer harus bersembunyi di balik semak-semak, menggunakan lensa kamera yang begitu panjang dengan kemampuan memperbesar yang jitu. Lantas kamu bertanya. Bagi seniman-seniman yang turba ini, apakah mereka benar-benar mengilhami tanah yang mereka pijak setelah “turun”? Apakah mereka hidup di dalam, alih-alih di antara, komunitas yang mereka lukis–eksistensinya bagai latar yang terus-terusan di sana tanpa dikenali betul? Apa mereka memilih untuk benar menjadi bagian komunitas, atau hanya menyerupai mahasiswa KKN yang dituntut untuk merakyat? Mungkin tidak dan kamu dianggap lancang karena berprasangka buruk kepada para seniman yang berpihak kepada rakyat. Mungkin iya, dan kamu merasa dirimu dan Kustiyah ada di sampan yang sama–tahu, alih-alih kenal, maka tak sayang.

Mungkin, tak perlu gejolak atau percikan rasa. Tak perlu sesuatu yang menggelitik, seperti karya-karya kontemporer yang menyambutmu sebelum sampai ke ruang pamer ini. Alih-alih meminta lukisan untuk mengakomodasi pengalamanmu, kamu bisa mengakomodasinya sebagai dirinya sendiri. Cat di langit dalam lukisan perahu tebal, berani, dan intensional–menarik. Warna tubuh ikan bervariasi. Kustiyah apik dalam memastikan berbagai warna hadir dalam bidang yang agak besar, bahkan terpikir untuk menambah gores kuning–warna komplemen biru, menarik! Goresan-goresannya luwes, lihat saja garis untuk melukiskan bentuk daun. Menarik, menarik.


Tulisan ini merupakan naskah dari sinyiar yang dilakukan dengan Hyphen dalam lokakarya Alkisah sebagai bagian dari program ArtJog 2023.

Comments

Popular Posts