Di Balik Batu, Sukarno, Aparat, dan Ibu-Ibu Kamisan Berpose Syahdu

sumber: CNN Indonesia


Ini bukan soal monumen sebuah sejarah. Ini adalah soal sejarah sebuah monumen. Dan sejarah-sejarah menyoal Monumen Pembebasan Irian Barat itu jamak.

Pernah membayangkan bapak-bapak paruh baya yang berpeci berpose di depan bapak-bapak lain? Ia menghempaskan kedua tangan di udara, lalu mukanya garang seperti tengah berteriak. Nama bapak itu Sukarno. Ternyata selain menjadi presiden, ia merangkap kerja sebagai model freelance.

Pose yang sama ditemukan di beberapa peristiwa dalam suatu rentang waktu. Ia adalah pose Monumen Pembebasan Irian Barat, berdiri gagah di Lapangan Benteng, Jakarta. Monumen itu adalah produk kerja keras modeling Sukarno. Berkali-kali ia mengoreksi Henk Ngantung, sang perancang monumen. “Seperti aku ini, lho. Bebas!” katanya sembari berpose. Tak sabaran, ia memutuskan untuk menggambarnya sendiri, dibubuhi tulisan, “begini, lho, Henk!” Akibatnya, setelah selesai, Henk Ngantung pun menggebrak meja di depan sang pematung, Edhi Sunarso. “Begini, lho, Ed!” katanya meniru Sukarno.[1]

Selain sang monumen dan Sukarno sendiri, pose itu juga diperagakan seorang anggota TNI dari Papua, Johannes Abraham Dimara. Di tengah-tengah kerumunan yang menyorakkan keinginan mereka akan masuknya Papua ke Indonesia pada 1961, ia bertelanjang dada dan mematahkan rantai. Adegan di depan Istana Presiden itu begitu berkesan bagi Sukarno, sampai-sampai ia membuat monumen pada 1963 berdasarkan kejadian itu.[2]

Sebuah pose diperagakan berkali-kali, diberi makna, sehingga ia dapat membeku di Lapangan Benteng selama berdekade-dekade ke depan sebagai monumen. Ia pun dipagari, dikunjungi, dan diceritakan kepada generasi yang datang. Ukurannya yang besar seakan menampilkan otoritas yang dimilikinya untuk menarasikan sejarah “resmi”. “Begini, lho, apa yang terjadi,” teriaknya diam-diam.

Lantas muncul pertanyaan lain. Siapa yang membangun monumen? Siapa yang bisa membangun monumen? Siapa yang memiliki sumber daya dan legitimasi politik untuk membangunnya?

Yang pasti bukan Nicholaas Jouwe. Nicholaas adalah salah satu anggota Dewan Nugini ketika Papua masih menjadi jajahan Belanda. Dewan tersebut dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan. Nicholaas lalu mendesain bendera dan terpilih sebagai pemenang sayembara. Bendera itu dikibarkan pada 1961. Saat itu, Belanda meresmikan pergantian nama Nugini Belanda menjadi Papua Barat. Namun, setelah konfrontasi 1962, ia diancam akan dibunuh dan disiksa. Ia pun menjadi eksil di Amsterdam.[3]

Berbeda nasib dengan Nicholaas Jouwe, setelah 21 tahun monumen itu berdiri, Arnold Clement Ap mati ditembak di Pantai Pasir Enam, Jayapura. Menurut Osborn dan Aditjondro, Arnold sengaja dilepaskan dan didorong ke laut oleh aparat. Setelah itu, ia ditembak. Menanggapi hal tersebut, Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, membenarkannya karena ia beranggapan bahwa Arnold adalah bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).[4]

Cerita mengenai masa lalu daerah bernama Papua itu memang banyak versinya. Bagi Sukarno dan monumennya di Lapangan Benteng, Papua otomatis menjadi daerah Indonesia karena sama-sama dijajah oleh Belanda. Aksi Trikora pun dianggap perlu untuk mengusir Belanda dari Papua. Setelah dilaksanakannya Pepera pada 1969, Papua dianggap sah menjadi bagian NKRI. Maka, orang-orang seperti Arnold mati sebagai pemberontak.

Namun, sepertinya Nicholaas dan Arnold akan berpikir lain. Nicholaas sudah mempersiapkan kemerdekaan Papua dengan mengikuti Dewan Nugini dan mendesain Bendera Bintang Kejora. Arnold juga dianggap bagian dari OPM. Bagi mereka, Papua adalah bangsanya sendiri. Operasi Trikora adalah operasi untuk memasukkan Papua ke wilayah Indonesia. OPM adalah upaya untuk memerdekakan bangsa. Maka, orang-orang seperti Arnold mati sebagai pejuang.

Pemikiran yang serupa dilontarkan Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945. Ia berkata, “saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka.”[5] Memang, hanya ada satu Operasi Trikora dalam sejarah. Hanya ada satu Pepera, satu Papua, dan satu tersangka anggota OPM bernama Arnold yang mati di laut Pantai Pasir Enam. Namun, pemaknaan atas kejadian-kejadian itu banyak jenisnya. Cara menceritakannya juga banyak ragamnya.

Jika memungkinkan untuk membayangkan Sukarno berpose ria di depan Henk Ngantung, memungkinkankah untuk membayangkan Nicholaas dan Arnold memiliki begitu banyak kuasa untuk membangun monumen? Seperti apa monumen yang akan dibangun? Cerita apa yang diucapkan pemandu wisata di hadapannya?

Memang, sulit membayangkan kemungkinan di mana orang-orang pinggiran membangun monumen. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi pihak lain untuk mengingat dan menceritakan sejarahnya sendiri. Misalnya, setiap Kamis sore, Maria Katarina Sumarsih, Bedjo Untung, dan Suciwati membuktikan hal tersebut. Meski bukan presiden dan bukan model freelance, mereka hadir dengan baju dan payung hitam di Istana Merdeka. Mereka bukan batu-batu besar yang beku. Mereka tubuh berkeringat dengan mata yang sembab, berorasi lewat aksi damai untuk mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Setiap Kamis, bersama ratusan korban, keluarga, dan aktivis, mereka menolak sejarah versi pemerintah. Mereka menceritakan sisi lain dari Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan pelanggaran HAM lainnya.[6]

Bukan hanya gerakan berpose Sukarno, Aksi Kamisan pun adalah sebuah aksi performatif. Ia memberi suara kepada mereka yang merasa tak tercakup dalam narasi besar sejarah. Pada akhirnya, menengok kembali cerita Sukarno, Henk, dan Edhi di Jakarta, Johannes Abraham Dimara di Istana Presiden, Nicholaas dan Arnold di Papua, serta Maria, Bedjo, dan Suciwati di Istana Merdeka, satu hal yang pasti: tidak ada sejarah yang tunggal. Dari satu peristiwa, ada berbagai pihak yang mengalami dan berbagai perspektif yang bisa digunakan.

Namun, keberadaan monumen, sebagai contoh, adalah bukti bahwa sebagian orang memiliki legitimasi lebih untuk memopulerkan cerita mereka. Bahkan, dengan kuasanya, mereka dapat membungkam orang-orang lain yang merasa tidak direpresentasikan oleh cerita mereka. Jadi, sejarah milik siapa?

Seperti Johannes, Sukarno, dan Henk, aparat militer berkali-kali memeragakan pose yang sama: berlari membawa senjata, menembakkan peluru, dan memenjarakan orang-orang Papua yang memprotes pengambilan lahan, transmigrasi, serta eksploitasi. Namun, tidak seperti Monumen Pembebasan Irian Barat, tidak ada monumen yang dibangun. Meskipun demonstran terus-terusan mengangkat tangannya seperti Johannes dan Sukarno, memprotes penggunaan kekerasan oleh militer terhadap warga sipil sepanjang sejarah, tidak ada batu yang diukir. Namun, mungkin monumen dapat disaingi sekerumunan tubuh berbaju hitam. Mungkin, batu-batu besar dapat ditantang tulisan-tulisan populer milik publik.

Dalam sejarah pembangunan Monumen Pembebasan Irian Barat, ada Sukarno yang berkata, “begini, lho, Henk!” dan ada Henk Ngantung yang berkata, “begini, lho, Ed!” Namun, sejarah juga ada di mulut dan tubuh orang-orang yang dengan lebih pelan berkata, “begini, lho, kalian semua, pengalaman hidup saya.”

Daftar Pustaka

[1] Dermawan, A. (2019). Dari Lorong-Lorong Istana Presiden: Menyimak rupa Budaya Rumah Bangsa: Sejarah, filosofi, Peristiwa, Opini. Kepustakaan Populer Gramedia.

[2] Adriyanto, S. D. (2021, October 20). Soekarno Mengagumi ja Dimara Asal Papua, Ide Patung Pembebasan irian Barat. Tempo. https://nasional.tempo.co/read/1519319/soekarno-mengagumi-ja-dimara-asal-papua-ide-patung-pembebasan-irian-barat

[3] Utama, A. (2021, December 3). Eksil Papua di Belanda: Cerita Anak-Cucu Pembuat Bendera Bintang Kejora Dan Anak seniman ternama “Yang Dibunuh.” BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59432970

[4] Ibid.

[5] Sekretariat Negara RI. (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). ts, Jakarta.

[6] Heizar, E. (2022, September 21). Aksi kamisan, Perjuangan Keluarga Korban Pelanggaran ham tuntut tanggung Jawab Negara. Tempo. https://nasional.tempo.co/read/1637035/aksi-kamisan-perjuangan-keluarga-korban-pelanggaran-ham-tuntut-tanggung-jawab-negara

Tulisan ini dipublikasikan di netralnews.com sebagai bagian dari lomba Menulis Esai Sejarah Populer NNC dan Universitas Negeri Malang.

Comments

Popular Posts