Kata Kotor itu Bisa Membebaskan

Kata Kotor itu Bisa Membebaskan [inbox]

Nessa Theo <venessatheonia@gmail.com>

to mama, bcc: surat-surat


Halo, ma. 

Apa kabar? Semoga baik.

Sebelumnya, terima kasih sudah mengirim arsip foto keluarga untuk lokakarya yang kuikuti kemarin. Maaf baru memberi kabar. Cukup banyak yang terjadi dalam kehidupanku akhir-akhir ini. Mama tahu aku, soal “terjadi”, ia tak melulu hadir dalam bentuk peristiwa, tapi juga pikiran di kepala. Aku rasa ada baiknya memulai cerita soal pikiran lewat foto–yang mama kirimkan dan yang kutemukan.

Arsip Foto Sulianti Halim, 1993.        Arsip Foto Unhistoried, n.d.

Begitu lucu ketika kupandang 2 foto ini secara bersebelahan. Dalam lokakarya yang kuikuti kemarin, kami dapat menggunakan arsip foto publik dari Unhistoried. Aku menemukan foto sebelah kanan, di mana hanya ada satu perempuan dalam sebuah ruang … mungkin kantor? Sedangkan di foto yang mama kirimkan, aku melihat mama hanya satu dari 2 perempuan dalam seminar koperasi yang mama ikuti.

Mungkin mama berpikir, sudah 20an tahun terlewati. Pasti banyak yang sudah berubah, sebagaimana dunia karir era anakmu ini. Tapi sayang, aku datang dengan kabar buruk. Justru, yang kurasakan adalah sebaliknya, terutama dalam bidang yang kugeluti ini.

Mama tahu, setiap kali ditanya terkait bidang studiku, orang selalu kaget dengan jawabannya. Untuk orang Cina, mereka kaget kenapa aku ingin membuang uang dan waktu untuk mempelajari sesuatu yang mereka anggap tak ada hubungannya dengan kehidupan kita. Aku juga bertemu banyak orang yang heran. “Kenapa mau belajar soal tokoh-tokoh besar yang sudah meninggal?” tanya mereka.

Dan aku paham. Sejak duduk di bangku sekolah, aku paham betul betapa eksklusif dan tidak relevannya sejarah. Ia hanya perihal nama tokoh dan tanggal. Tak seorang pun dengan wajah atau nama keluarga kita terpampang di buku LKS. Perempuan juga sebatas Kartini dan Cut Nyak Dien–selama 12 tahun bersekolah! Ia hanya diisi oleh laki-laki, kebanyakan Jawa. Entah orang pemerintahan, entah orang militer.

Ya, ma. Di kelasku, mahasiswi cukup banyak. Dosen-dosen perempuan juga. Tapi, selama belajar di Jogja, aku menemukan bahwa upaya untuk mencapai kesetaraan gender–atau bahkan, aku akan menggunakan kata feminisme–bukan hanya soal berbuahnya upaya Kartini untuk menyekolahkan perempuan. Feminisme juga mencakup persoalan-persoalan yang kuceritakan tadi, tentang eksklusi–tertanam tanpa mudah dilihat dalam keilmuan itu sendiri.

Bergelut dalam bidang kesenian dan mempelajari sejarahnya, aku menemukan hal yang sangat mirip dengan apa yang ada di buku LKS masa sekolah. Sejarah seni ditulis dalam bentuk kanon: ada nama-nama besar yang disusun secara periodik dan linear. Kebanyakan–seperti yang bisa mama tebak–adalah laki-laki Jawa: S. Sudjojono, Djoko Pekik, Affandi. Mereka selalu digambarkan sebagai tokoh yang genius. Kalau kata Jennifer Yang, selain diisi seniman genius tunggal, sejarah seni juga diisi kronologi eksklusif, merepresentasikan karya-karya yang dianggap orisinil secara gaya, representatif atas seniman laki-laki.

Selagi membaca akhir-akhir ini (alasan kenapa aku lama belum memberi kabar), aku menemukan pemikir lain yang menarik. Wulan Dirgantoro menanggapi ini dengan mengatakan bahwa dalam kasus Sudjojono, penokohan dan anggapan bahwa Sudjojono adalah figur paling genius sejagat juga bagian dari sesuatu yang lebih besar: budaya patriarki. Kanon membuat Sudjojono menjadi hasil dari penguasaan artistik. Objek-objek seperti Sudjojono ini pun menjadi seakan-akan simbol satu-satunya dari kreativitas dan budaya. 

Ini bertentangan dengan kacamata yang lebih feminis. Misalnya, Griselda Pollock mencoba menggunakan metode active re-reading untuk membaca ulang sejarah dan menempatkan orang dalam sebuah jaringan. Mereka bisa menjadi diri mereka karena pengaruh orang lain, institusi, dan kuasa lainnya yang tak tampak pada karyanya saja. Orang-orang yang berkontribusi menciptakan ruang bagi tokoh untuk terpilih menjadi kanon juga harus diakui, bahkan juga diselebrasi.

Selain itu, eksklusi semacam ini juga muncul dalam bentuk nasionalisme. Aku rasa, secara pengalaman, mama lebih mengerti soal ini ketimbang aku. Atas nama “nasionalisme”, mama harus membakar segala sesuatu yang beraksara Cina. La Ie dan Ciu Ciu harus putus sekolah karena sekolah Tionghoa ditutup pemerintah. Feminisme bukan hanya soal berapa banyak perempuan bisa hadir di ruang seminar, ma. Ia bisa dikaitkan dengan nasionalisme. Ada banyak pemikir yang berpendapat bahwa nasionalisme sendiri adalah proses yang maskulin.

Misal, dalam konteks India, Ashis Nandy menulis bahwa menjadi orang-orang jajahan berarti menjadi orang yang pernah dilecehkan maskulinitasnya dan dikalahkan secara politis. Maka, untuk melawan penjajahan, mereka meningkatkan kebanggaan terhadap identitas sebagai Orang India dan Hindu. Mereka mencoba meningkatkan nilai maskulin dan Ksatriya (familier? Ya, seperti di negara kita ini). Kalau kata Partha Chatterjee, ini memunculkan narasi: “kekuatan fisik sebagai sejarah resmi dari negara, dijunjung tingginya laki-laki berpendidikan untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai pemimpin negara, sebagai putra-putra berani dari ibu yang dipermalukan oleh penyusup asing.” Tak heran negara selalu digambarkan sebagai sosok feminin, seperti lagu Ibu Pertiwi itu lho, ma.

Kanonisasi dan nasionalisme memang masih begitu kuat dalam penulisan sejarah. Mereka adalah bentuk lain dari timpangnya kesetaraan gender dalam keilmuan. Makanya, aku rasa, feminisme juga harus dipahami sebagai lensa untuk melihat gender dalam narasi. Kata Wulan Dirgantoro, “feminisme adalah diskursus politis yang secara kritis melihat proses-proses genderisasi.” Proses menemukan gender dalam hal-hal di luar manusia ini ditemukan dari apa yang kita obrolkan tadi, ma: negara disimbolkan sebagai sosok perempuan, diperjuangkan dan dijaga oleh tokoh-tokoh pahlawan laki-laki. Cara memperjuangkan dan menjaganya menjadikan kekuatan fisik serta militer di panggung utama. Pertanyaannya adalah, siapa yang tereksklusi dari narasi semacam ini? Siapa yang terkena getahnya dari sejarah yang semacam ini?

Jadi, ketika orang Cina di sekitar kita mempertanyakan pilihan bidang studiku, ketika mereka menganggap bidang studiku tidak relevan karena mengeksklusi kita, buatku, itu adalah hasil dari kanonisasi–cara menulis sejarah yang tidak feminis. Ketika nasionalisme dikoar-koarkan di atas penderitaan orang lain, ketika diskriminasi berbasis nasionalisme direproduksi lagi dalam penulisan sejarah, itu juga karena absensi dari penulisan sejarah yang feminis.

Melihat foto-foto itu sekilas lucu, tetapi ditatap lama membuat nanar. Feminisme, seperti yang mama mungkin tahu, terkadang menjadi kata kotor. Ketika dibayangkan, yang muncul mungkin adalah bayang-bayang perempuan garang, benci laki-laki, dan tidak mau menikah. Tapi ma, jika aku feminis, mungkin feminis juga bisa berarti orang yang punya banyak teman laki-laki, memandang mereka sebagai teman seperjuangan. Mungkin feminis juga bisa berarti orang yang tidak antipernikahan, tetapi kesal ketika acara atau tulisan di kampus mengusung kata-kata “pahlawan”, “sejarah resmi”, atau bersifat hipernasionalis. Mungkin feminisme bukan cuma soal menciptakan foto tempat kerja yang berisi lebih banyak perempuan, lalu disejajarkan dengan koleksi foto kita tadi. Namun mungkin, feminisme juga soal menciptakan dunia yang lebih inklusif dan setara–secara relasi, secara keilmuan.

Mungkin, dalam kasus anakmu ini, ia bisa dimulai dengan menulis sejarah.

Salam,

Nessa

Tulisan ini pertama dipublikasi dalam rubrik Opini Majalah Suryakanta 2023.


Comments

Popular Posts