Menjamah Cakrawala bersama Robayo di atas Tanah Gambut


Read it in English here

Pontianak, 13 Juli 2022

Udaranya lembap. Teriknya membakar kulit. Roda koper bergelinding cepat menuju mobil pinjaman yang pengapnya bukan main. Minggu lalu, aku berpikir bahwa panas Yogyakarta dan Pontianak bisa disamakan. Hari itu, aku merasa bodoh berpikir demikian.

Aku pulang ke tanah gambut bersama Narator Menyongsong Badai karya Margarita Garcia Robayo. Dari ketinggian entah berapa ribu meter, aku menyaksikan bagaimana mata Narator menjamah cakrawala, mencoba meninggalkan pesisir Kolombia yang dipenuhi kemiskinan, mencoba pergi dari segala yang menjadi asalnya.  

Hidup di tepi laut itu baik dan buruk karena alasan yang sama persis: dunia berakhir di cakrawala. Artinya, dunia tidak pernah berakhir. Dan kamu selalu berharap terlalu banyak. Pada awalnya, kamu berharap semua yang kamu tunggu akan tiba suatu hari di atas kapal; kemudian kamu menyadari tidak ada yang akan datang dan kamu harus mencarinya sebagai gantinya.

Sampai di kursi depan mobil, tubuhku masih bergidik. Entah karena cerita Narator atau cuaca ekstrem  khatulistiwa.



Melihat hamparan persawahan hijau di tepian kota, aku berpikir bahwa persamaan matematika sederhana bukan teman semua aspek kehidupan. Mengkuantifikasi waktu, pengalaman, dan kedewasaan, misalnya. Jika waktu mendewasakan dan mengajarkan manusia, maka kuantitas waktu yang terlewat berbanding lurus dengan kematangan seseorang. Namun, enam tahun di tanah gambut ini tidak sebanding dengan tujuh hari di tanah ibukota yang akan tenggelam, dua bulan di pesisir Bali, dan empat bulan di tanah sultan. Ada banyak faktor X dalam persamaan ini. Ada sesuatu tentang beranjak keluar dari tempurungmu, melepas tali di persendianmu yang digerakkan ayah dan ibu, dan bertemu terang gelap dunia dengan kebebasan di tanganmu. Pilihan apa yang akan aku ambil? Nilai apa yang benar aku yakini? Siapa aku? Aku akan menjadi siapa?

Aku adalah orang yang baru. Aku lahir baru. Atau setidaknya aku berpikir demikian. Berteman dengan ombak dan gunung, menghabiskan waktu dengan ekspat nomaden yang menunjukkan semunya patokan kesuksesan, menjalankan hidup dengan anak muda marxis, meleburkan diri dalam budaya yang gemar segan, berbasa-basi, dan nerimo ing pandum, Nessa yang lama tampak seperti gadis yang dikurung dalam ruang bawah tanah ibunya. Semua pengalaman itu telah membuka pintu ruang bawah tanah itu, menjadi katalis dalam pembentukan manusia baru. Aku suka manusia ini.

Berjalan, berkendara, dan terbang di atas tanah-tanah asing membuatku merasa bahwa aku adalah ruh yang bebas--manusia kecil dengan tas punggung yang kebesaran, menjelajahi sudut-sudut dunia. Bumi dipenuhi cerita orang-orang yang dapat dikenal. Alam memiliki kisah yang ia sampaikan lewat bahasa sehalus isyarat. Pergilah! Jelajahi semuanya! Rasakan, resapi, alami. Masa depanku kutata sedemikian rupa dengan apapun yang membuka cakrawala.

Kembali ke tanah gambut menunjukkan bahwa aku manusia berakar. Entah itu kabar baik atau kabar buruk.

Aku rasa semua orang ingin memiliki akar. Sebuah tempat berpulang. Sebuah kotak yang dapat ia jadikan rumah bagi identitas. Namun, apa jadinya jika akar itu telah menjadi asing bagi pucuk yang tumbuh? Dalam kerajaan flora, pucuk tidak pernah mengkhianati akar. Tetapi, aku bukan tumbuhan. Aku spesies kera yang telah melewati revolusi kognisi. Dan aku berkhianat pada akar dari pohon keluarga. Pengkhianatan itu tidak dimulai sejak penerbangan Desember lalu. Ia dimulai sejak kera itu keluar dari rahim ibunya.

Aku gadis kecil yang berlari ke depan panggung pada acara senam taman kanak-kanak, mengambil mikrofon untuk menyanyi dan bergoyang. Dalam acara menari, ketika guruku berhitung sampai tiga, aku split dengan kedua tangan dihempaskan ke atas sementara teman-teman mengacungkan dua jari. Dan si Valentine mengatakan bahwa aku berlebihan. Aku selalu ingin berbeda, sampai teman-teman sejawat memberi komentar menusuk dan aku mencoba ikut arus pada sekolah menengah. 

Ibu pernah bercerita bahwa aku terlalu blak-blakan sejak kecil. Kata seorang di balik kertas kejujuran pada akhir semester di sekolah menengah, aku tukang kritik. Memang benar, kehidupan SMP-SMA dipenuhi kritik ini-itu kepada otoritas, seperti ketika surat sepanjang dua lembar HVS beserta sitasi kuletakkan di meja guru Bahasa Indonesia yang menyalahkan jawabanku. 

Tidak seperti yang dipikirkan keluargaku, pengalaman terbang ke negeri Paman Sam bukan pencipta Nessa yang baru. Ia hanya memperbolehkan gadis itu menggenapi identitasnya. Manusia baru ini baru karena yang lama telah mengalami pembebasan.

Jadi ia telah berkhianat dari akar. Di tanah asing, ia merasa bebas untuk menggenapi dirinya, membentuk dirinya sesuai kompas yang ada, dan terus memperbaharui kompas. Kembali ke tanah gambut mengingatkannya bahwa ia memiliki akar. Ia berbeda dari akar.

Udara masih lembap. Namun, hari ini tidak terik, melainkan hujan. Kursi kafe ini telah kududuki ratusan kali sebelum kepergian, dan di sini duduk manusia yang berbeda dari yang lama. Jarum jam di tangan masih bergerak pelan. Setengah minggu lagi, kakiku akan berpijak dari tanah gambut.

Hidup di tepi laut itu baik dan buruk karena alasan yang sama persis: dunia berakhir di cakrawala. Artinya, dunia tidak pernah berakhir. Dan kamu selalu berharap terlalu banyak. Pada awalnya, kamu berharap semua yang kamu tunggu akan tiba suatu hari di atas kapal; kemudian kamu menyadari tidak ada yang akan datang dan kamu harus mencarinya sebagai gantinya.

Aku tidak hidup di tepi laut. Tetapi, ketika tiba di kota ini, aku berhenti untuk melihat cakrawala yang tertutup hutan. Itu sudah cukup untuk membuatku sadar bahwa dunia tidak pernah berakhir. Ada cerita yang ingin kutemukan. Ada identitas yang ingin kugenapi di luar sana. Dan mereka tidak akan tiba dalam sebuah kapal, pesawat, atau paket yang diantar ke depan rumah.


Aku ingin mencarinya.


Aku ingin lepas.


Aku ingin terbang.

.

.

.


Maafkan aku, akar.



Comments

Popular Posts